Sabtu, 29 Desember 2012

MENGGALI IBADAH & TATA IBADAH KEKRISTENAN AWAL



Pernahkah anda berpikir dan merenung sejenak serta berkata,”apakah saya dan jemaat dimana saya bersekutu atau menggembalakan, beribadah seperti Mesias beribadah?” atau pernahkah anda mempertanyakan, “apakah Mesias mengajarkan mengenai Ketritunggalan atau Keesaan?” atau “benarkah Mesias dan para rasul-Nya beribadah dengan berjingkrak-jingkrak, berteriak-teriak sambil mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti, sebagaimana dilakukan oleh beberapa komunitas Kristiani?” atau “apakah bahasa yang diucapkan Mesias dan para rasulnya”, lalu, “bagaimanakah Mesias membaca dan memperlakukan Kitab Suci?” juga “Apakah Mesias merayakan Christmas pada Tanggal 25 Desember dan Easter?”

Mungkin anda pernah memiliki salah satu dari beberapa pertanyaan diatas atau mungkin tidak pernah sama sekali mempertanyakannya. Bagi mereka yang pernah menggumuli pertanyaan-pertanyaan diatas, tulisan ini semacam peta jalan untuk menelusuri kembali jejak awal Kekristenan. Namun tidak semua hal akan dikaji dalam tulisan ini, mengingat keterbatasan halaman. Bagi mereka yang belum pernah sama sekali memiliki berbagai pertanyaan diatas, kajian ini merupakan rambu-rambu lalu lintas yang menyala merah dan meminta anda untuk berhenti sejenak serta melihat sisi lain dari sejarah kekristenan dan keberadaan kita sebagaii komunitas pengikut Mesias Yahshua.

Beberapa tradisi liturgis dalam gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, sebenarnya berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D., menjelaskan dalam artikelnya, “Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, sbb:“Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama Masehi”1

Dalam perkembangannya, akibat suasana Anti Semit yang berkembang kuat di luar Yerusalem, Gereja (Qahal Mesias) dari kalangan non Yahudi (Christianos, Kis 11:26) mulai melepaskan diri dari lingkungan Yudaisme dan Gereja dari kalangan Yahudi (Netsarim, Notsrim, Nazoraios, Kis 24:5,11). Ketika Gereja non Yahudi berkembang di luar Yerusalem, khususnya di Roma dan seluruh wilayah jajahannya dan berkembang sampai Eropa, maka Gereja mulai mengembangkan liturginya yang melepaskan banyak unsur-unsur dalam Yudaisme dan Keyahudian.

Nelly Van Doorn-Harder, MA., dalam artikel berjudul “Akar-Akar Keyahudian Dalam Liturgi Kristen, mengatakan: “Bila Liturgi Protestan dilihat sebagaimana yang ada sekarang, sulit dibayangkan bahwa akar dari semua kehidupan liturgis Kristen, dapat ditemukan dalam Liturgi Yahudi. Karena memang [Yahshua] adalah seorang Yahudi. Ia selalu mengutip dan menggunakan cerita-cerita, tema-tema dan simbol-simbol dari Perjanjian Lama. Perayaan-perayaan perjamuan kudus dan rumusan doa sehari-hari gereja purba diambil dari cara Yudaisme…Proses melupakan warisan keyahudian ini, berawal dari pengajaran mengenai amanat Kristen di luar tanaah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat Yunani”.2

Fakta penting pertama dari penjelasan Nelly Van Doorn-Harder adalah bahwasanya berbagai liturgi Kekristenan merupakan WARISAN yang BERAKAR dari Yudaisme, dimana Yesus Sang Mesias pun menggunakannya dalam ibadah harian (tefilah) maupun sabat di Sinagog-Sinagog Yahudi di Yerusalem.

Selanjutnya Nelly mengatakan: “Reformasi Protestan memiliki tujuan untuk kembali kepada tradisi-tradisi Kristen yang murni. Sayangnya, pada zaman para reformator, terdapat sedikit informasi mengenai isi dari tradisi Kristen ini. Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang berorientasikan ilmu pengetahuan sebagai hasil Renaisance. Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa berdialog secara konstan dengan (Tuhan) yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari kehidupan liturgi protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan, yakni doktrin”3.

Fakta ini membawa kita pada pemahaman bahwa para reformator tidak menguasai hakikat liturgi Yudaisme dan mengabaikan peran penting liturgi sebagai suatu bentuk tata ibadah yang hidup antara umat dan Tuhannya, dan menitik beratkan pada doktrin.

Penjelasan Nelly berikutnya yang tidak kalah menarik untuk kita simak: “…melupakan akar-akar keyahudian, memberikan konsekuensi-konsekuensi serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang Kristen tidak lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai perjamuan kudus, mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”4.

Fakta ketiga yang teramat penting, bahwa terputusnya Kekristenan reformasi yang melahirkan gereja-gereja beraliran Lutheran, Calvinis, Baptis, Menonit, Moronite, dalam menerapkan tradisi tata ibadah warisan Yudaiknya, telah menyebabkan berbagai PERPECAHAN DENOMINASI. Padahal, pada mulanya para pengikut Mesias di Abad I Ms beribadah di sinagog, menggunakan tata ibadah Yudaik serta doa-doa Yudaik, namun dikarenakan ketidak mengertian Kekristenan terhadap akar-akar Yudaiknya, mengakibatkan timbulnya perpecahan dan berbaga penafsiran gereja-gereja reformasi yang bertumbuh di Eropa, Amerika dan Afrika serta Asia, terhadap tata ibadah Kekristenan yang mula-mula.

Beberapa denominasi Kristen non Orthodox, Katholik, Protestan seperti Pentakostal dan Kharismatik, melepaskan diri dari suatu keterikatan terhadap liturgi dalam beribadah. Liturgi dipandang sebagai suatu kebekuan dalam beribadah.

Sikap-sikap negatif terhadap liturgi dalam ibadah, sebenarnya dikarenakan ketidakmengertian hakikat dan makna liturgi dalam kehidupan ibadah Gereja pada awal pertumbuhannya.. Van Olst mengatakan sbb: “Liturgi, seperti yang ditekankan oleh Cromphout dalam bukunya tentang Kitab Wahyu, adalah ‘mengaku dan menyanyi di hadirat (Tuhan) bahwa ada keselamatan; dan mengatakan bahwa Dia sajalah penguasa asas segala sesuatu dan dengan demikian mematahkan daya tarik dunia dan kekuatannya. Tata cara (setting) liturgis ini pada saat yang sama, membentuk relevansi praktis dari Kitab Wahyu….Pasal 5 menerangkan tentang suatu peristiwa/kegiatan liturgis yang akbar. Keempat mahluk itu dan dua puluh empat tua-tua menyanyikan satu lagu baru (ayat 9) diikuti dengan suatu puji-pujian agung untuk Sang Anak Domba – lagu pujian yang dikenakan dengan relevansi politis yang besar karena kekuasaan dari sang kaisar secara jelas diberikan kepada Sang Anak Domba. Dalam hal ini, sama seperti dalam pasal sebelumnya, kita menyaksikan bagaimana liturgi itu dirayakan di sorga - oleh para malaikat, keduapuluh empat tua-tua itu, orang-orang suci, keempat mahluk hidup itu secara singkat, oleh segenap ciptaan (keempat mahluk hidup itu mewakili kosmos)5

Dari penjelasan Van Olst, kita melihat bahwa Liturgi berakar bukan hanya daari Yudaisme dan Sinagoga, melainkan berakar dari Kitab Suci. Bahkan liturgi adalah suatu percakapan yang hidup dan interaktif di Sorga. Dan liturgi Kekristenan seharusnya mengadaptasi unsur-unsur liturgi Yudaisme dalam tata ibadahnya.

John Fischer, seorang Mesianik Yahudi yang telah mengimani bahwa Yahshua sebagai Mesias, mengatakan mengenai fungsi liturgi sbb: “In so doing, liturgy teaches us about God and his actions in our world. The liturgy, though an effective guide in worship, is not worship in and of itself. It must be accompanied by the right attitude”(Dengan demikian, liturgi mengajar kepada kita mengenai Tuhan dan karya-Nya di dunia. Meskipun demikian, liturgi merupakan petunjuk efektif dalam beribadah. Liturgi bukanlah penyembahan dalam dan dari dirinya sendiri. Liturgi seharusnya dikaitkan dengan sikap yang benar).

DR. David Stern memberikan ulasan mengenai bentuk liturgis ibadah di Bait Suci, yang terdiri sbb:7

  • Doa pembukaan, mazmur-mazmur dan himne-himne
  • Barekhu, panggilan khusus beribadah
  • Shema, pengakuan iman, mengumumkan kekuasaan Elohim atas Israel, yang diulang baik pagi maupun petang
  • Amidah, Pujian/Doa. Delapan Belas Doa Berkat (Eighteen Benedictions), sinopsis doa harian, berhubungan dengan korban harian, pagi, siang dan petang
  • Keriat ha Torah, Membaca Firman Elohim (TaNaKh) terkadang dengan terjemahan, penjelasan atau kotbah. Termasuk doa-doa dan himne-himne



Marilah kita perbandingkan struktur liturgis dan tata ibadah di Bait Suci sebelum hancur pada tahun 70 Ms, dengan liturgi atau tata ibadah gereja-gereja di Indonesia sbb:8

  1. Votum dan Salam serta Introitus
  2. Pengakuan Dosa, Pemberitaan Anugrah dan 10 Hukum
  3. Gloria Kecil, Kyrie Eleison dan Nyanyian Pujian
  4. Doa, Pembacaan Kitab Suci dan Kotbah
  5. Mazmur dan Halelu-Yah
  6. Pengakuan Iman
  7. Doa Syafaat
  8. Pemberian Jemaat (persembahan)
  9. Nyanyian dan Paduan Suara
  10. Berkat

Saya menyusun siddur dengan mengadaptasi beberapa siddur yang dilaksanakan oleh beberapa kalangan Mesianik Yahudi di Eropa dan belahan negara lainnya, sebagaimana telah diulas dalam kata pengantar siddur ini. DR. John Fischer memberikan beberapa pola alternatif dalam penggunaan liturgi ibadah dalam Siddur Mesianik sbb:9

  1. Hadlakat Haneyrot (penyalaan lilin Shabat)
  2. Lekhu Neranenah
  3. Lekhah Dodi
  4. Barkhu
  5. Birkat sebelum Shema
  6. Shema (Ul 6:4-5)
  7. Ha Elohim Asher (Heb 1:1-3)
  8. We Shamru (Kel 31:16-17)
  9. Penggalan Kadish
10. Mazmur 23
11. Tefilat ha Talmidim (Doa Para Murid)
12. Amidah
13. Pembacaan Kitab Suci
14. Kotbah
15. Magen Avot
16. Membaca Kadish
17. Kiddush
18. Aleinu
19. Kaddish
20. Yigdal
21. Adon Olam
22. Lagu pujian
23. Birkat Harun (Bil 6:24-26)

Liturgi ibadah Shabat dalam Siddur Avodah Indonesian Judeochristianity Institute (dulu Forum Studi Mesianika) yang diaplikasikan oleh beberapa gereja berbasis pemahaman Judeochristianity menggunakan urutan sbb:

  1. Doa Pembukaan
  2. Votum
  3. Shema & Ahavta
  4. Mizmor Sabat
  5. Menyanyikan Shema Yishrael
  6. Pujian Pembukaan
  7. Tehilim ha Shamayim
  8. Pujian menjelang Firman
  9. Birkat pembuka dan penutup membaca Kitab Suci
10. Midrash
11. Tefilah Avinu
12. Atta Hu ad
13. Pengakuan Iman
14. Doxologi
15. Birkat Kohanim
16. Lagu penutup

Makna teologis dari urutan tersebut adalah sbb: Pemimpin ibadah dan umat bersama-sama memulai ibadah dengan mengawali dalam doa untuk mempersiapkan diri menghampiri YHWH.

Kemudian dilanjutkan dengan Votum sebagai wujud mengkonstantir kehadiran Tuhan.

Kemudian dilanjutkan Mizmor Sabat atau panggilan beribadah dengan mengucapkan secara bersahutan, mazmur-mazmur pilihan khususnya mazmur 92.

Mengucapkan secara bersahutan dan bersamaan, Shema & Ahavta, sebagai suatu proklamasi iman dan pengakuan bahwa Gereja (hanya menyembah satu Tuhan Pencipta, yaitu YHWH. Pengakuan ini dilanjutkan dengan suatu ikrar untuk mengasihi-Nya dengan keseluruhan eksistensi diri kita. Dengan mengucapkan Shema, Gereja hendak menyatakan kontinuitasnya dengan Yudaisme.

Pengucapan Tehilim ha Shamayim, secara bersahutan dan bersamaan, merefleksikan suatu pengagungan kepada YHWH dan Yesus Sang Mesias, sebelum mendengar Firman Tuhan.

Midrash atau pengajaran, merupakan simbolisasi dan tanda kehadiran dan pernyataan kehendak YHWH di dalam Yesus Sang Mesias, yang dinyatakan dalam peremuan komunal.

Setelah selesai pemberitaan Firman, dilanjutkan dengan pengucapan secara bersama Atta Hu Ad sebagai bentuk respon kebesaran dan kekelan Firman Tuhan

Kemudian pengucapan Tefilah Avinu sebagai suatu ikrar doa yang diajarkan oleh Yesus Sang Mesias.

Pengucapan Emunah ha Shlikim hendak mengingatkan pada Gereja khususnya Gereja non Yahudi, bahwa mereka terhubung dengan Gereja segala abad, untuk mengikrarkan diri menentang berbagai bidat-bidat yang menyerang eksistensi dan keutuhan Gereja dalam pertumbuhannya. Dengan mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, kita turut menentang ajaran Arianisme yang mengajarkan bahwa Yesus hanyalah manusia yang diadopsi oleh Tuhan, menentang Ebionisme yang mengajarkan bahwa tubuh Yesus hanyalah semua maka kematian-Nya sebagai manusia pun adalah semu.  

Sebelum penutup ibadah dilaksanakan pengangungan kebesaran atas karya Bapa, Putra dan Roh Kudus dalam suatu seruan Doxologis

Dan sebagai penutupan ibadah, diucapkan Birkat Kohanim oleh imam atau pemimpin ibadah, untuk menegaskan berkat YHWH bagi mereka yang takut akan Dia dan mematuhi Firman-Nya. Beberapa bentuk liturgi Yudaisme dan beberapa istilah dan nama-nama individu dengan mempertahankan bentuk Ibraninya, merupakan komitmen untuk mempertahankan akar semitik Gereja yang berakar dari Yudaisme.


END NOTES


1 Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16

2 Dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 53, 1998, hal 72

3 Ibid., hal 72-73

4 Ibid., hal 73

5 Alkitab & Liturgi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, hal 10-11

6 Siddur for Messianic Jews Florida: Menorah Ministries, 2002, p. 180

7 David H. Stern & Eleazar Brandt, The Use of Liturgy in Messianic Jewish Worship dalam MISHKAN No 25, 1996, Messianic Jews & Liturgy, www.caspari.com

8 Unsur-Unsur Liturgia Yang Dipakai Oleh Gereja-Gereja Di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 1986
9 Op.Cit., p. 122-123

1 komentar:

  1. Bapak Teguh Hindarto Yth, saya dari Cimahi Bandung-Jabar, Protestan. ingin mengetahui dan belajar lebih banyak tentang kekristenan Mesianik. melalui apa dan bagaimana saya bisa berhubungan dengan Bapak. Terima kasih.

    BalasHapus